Namaku Bram. Aku sangat membenci dunia, entah karena dunia juga sangat membenciku, atau karena aku ditakdirkan untuk tidak menginjak dunia ini. Hidup seorang diri, sepi, sunyi, di dunia yang tak berhenti mengurus diri-diri mereka sendiri. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini, itulah yang diteriakkan oleh batin ku. Tapi ku yakin, dunia berkata lain. Mungkin, jika sebelum dilahirkan ke dunia mereka ditanyai, mungkin mereka akan berebut saling memangsa untuk mendapatkan kehidupan mereka yang bertabur kebahagiaan. Mereka punya teman, saudara, dan bahkan orang tua yang tak sempat ku rasakan kehadirannya. Sekarang lihat diriku, aku hanya seorang remaja laki-laki depresi yang tak punya siapa-siapa. Hanya seorang nenek yang selalu memukulku karena hal-hal sepele. Hal-hal yang tak perlu dipermasalahkan.

Setahu ku, aku sempat memiliki orang tua. Tentu. Tapi mereka telah tiada semenjak aku berusia 1 tahun. Usia dimana aku belum mengenal dunia, belum mengenal orang tua, dan belum mengenal arti kehilangan. Mereka pergi begitu saja. Tanpa pernah meninggalkan kenangan padaku. Apalagi harta. Keluargaku adalah keluarga yang tak berada. Tak punya apa-apa. Mungkin karena itu juga aku dikucilkan. Sejak aku mulai bisa menggunakan perasaan, tak pernah ku coba untuk mendapatkan yang baik. Semua yang ku terima hanyalah kebencian dari semua orang. Bahkan, satu senyum pun sangat langka bagiku. Kebencian, Hanya itulah yang aku punya untuk dunia.

Scene 1.

Latar tempat : taman kota

(kiki, reza, teta, dan retno sedang bercengkrama di taman kota. Kemudian bram mendekat karena menyapu taman kota itu.)

(saat bram berada dekat dengan mereka, Teta membuang sampah berserakan kea rah bram dengan angkuhnya)

(Bram melihat ke arah teta)

Bram : jaga sikapnya, mbak.

Teta : trus, mau kamu apa ?? mau protes ??

Kiki : woi gembel ! kalau kerja, kerja aja. Jangan ganggu kami. Sana pergi jauh –jauh.

Teta : woi denger ga ? sana pergi !

Reza : (menarik baju bram dan menyeretnya hingga jatuh) makanya, sekolah biar bisa kaya !

emang orang tuanya ga ngasih jajan? Sampai-sampai jadi gelandangan ?

Bram : saya cari uang dengan halal. Dan jangan sebut-sebut orang tua saya.

Scene 2.

Latar : rumah nenek bram.

Nenek : Bram !! Bram ! kesini !

Bram : ya, nek.

Nenek : kamu kan yang mencuri uang nenek yang di atas lemari?

Bram : (menggeleng)

Nenek : (memukuli bram sampai terjatuh) siapa yang mengajarkanmu mencuri ? orang tua mu ? apa kamu sadar ,disini kamu hidup menumpang ? jadi kamu harus ikuti semua peraturan di rumah ini tanpa ada bantahan sama sekali.

Bram : (memegang tangannya kesakitan)

Nenek : Jangan berpura-pura sakit ! karena tidak akan ada yang mau peduli padamu!

Bisanya hanya beban hidup saja yang kau berikan.

Bahkan, orang yang membesarkanku dari kecil sekalipun hanya bisa memberikanku sakit demi sakit. Tak lebih. Itu mulai ku rasakan semenjak aku menginjak usia 5 tahun ketika aku dan nenek ku pindah ke kota karena rumah kami yang di desa disita oleh rentenir karena kami tak mampu membayar hutang yang bunganya semakin membesar dari waktu ke waktu. Di kota lah aku sempat sedikit merasakan ada anak-anak sebayaku berada di sekitarku. Tapi, itu pun tak lebih baik. Mereka sama saja dengan dunia yang ku kenal. Selalu mengucilkan ku. Saat mereka bermain bergembira bersama, aku hanya bisa melihat dari semak-semak agar mereka tak melihatku. Karena, mereka selalu melontarkan kata-kata yang membuat perasaanku tergores apabila mereka melihat ku berada di dekat mereka. Masih ku ingat jelas kata-kata mereka. “jangan bermain dengan kami, orang miskin yang tak punya orang tua!”. Bayangkan apabila itu terjadi pada seorang anak berusia 5 tahun yang masih sangat mudah terpengaruh dalam pembentukan karakter mereka. Tapi, itu lah yang ku dapatkan. Dan itu harus aku terima. Itulah realita yang tak bisa aku ubah. Tapi, juga terlalu sulit untuk aku lalui. Hingga detik ini, hujan kebencian itu tak kunjung reda. Dan mungkin tak akan pernah reda.

Scene 3.

Hari itu, di rumah nyonya Ratih, seorang wanita karir yang mempekerjakanku sebagai pembantu untuk menyetrika baju semua anggota keluarga di rumah itu.

Bram : siang, bu.

Ratih : siang. O ternyata kamu. Apa kamu digaji untuk telat ? kenapa tak datang jam 9 saja? Sekalian biar saya yang menggantikan kamu menyetrika pakaian.

Bram : maaf, bu. Tadi saya…..

Ratih : diam ! saya tidak menerima alas an apa pun. sekarang pergilah bekerja. Pagi-pagi sudah bikin sakit hati. Sana !

Bram : (berjlan tertunduk menuju ruang setrika dan mulai bekerja)

Lagi, satu tekanan di pagi hari. tapi, hanya inilah yang mampu kulakukan untuk menyambung hidup ku dan nenek yang telah berjasa membesarkanku walau dengan penuh rasa keberatan. Andai saja adulu aku sempat menyambung sekolahku ke Sekolah Menengah Atas. Paling tidak, aku bisa bekerja di sebuah pabrik kertas di pinggiran kota tempat aku bermukim. Dengan itu, aku mungkin akan diperlakukan seperti manusia.

Ratih : Bram, gosok semua pakaian itu(sembari melemparkan setumpuk pakaian untuk di setrika)

Bram : baik, bu.

Ratih : jangan sampai melakukan kesalahan. Atau gaji kamu saya potong separoh. Dan selesaikan semua pakaian ini sebelum anak saya pulang dari sekolah.

Bram :(mengangguk)

Ratih : Kamu dengar tidak apa yang saya katakan?

Bram : dengar, bu.

Ratih : bagus, saya ingatkan lagi, jangan sampai kamu membuat kesalahan apapun. Kalau kamu melakukan kesalahan, lihat saja akibat yang akan kamu terima.(pergi)

Sombongnya wanita itu. Walaupun aku adalah pembantu di rumah ini, tapi aku juga punya perasaan. Aku manusia. Hanya saja, aku terlahir dengan takdir yang tak menyenangkan. Belum sempat aku menyadari nyonya ratih yang beranjak, ternyata Teta, anak nyonya ratih sudah berdiri di belakangku.

Teta : Bram, kerjakan pakaian ini dalam 2 menit. Titik.

Bram : (melihat banyak pakaian) sebanyak ini ?

Teta : mau ditambah lebih banyak lagi ?? kerjakan saja! aku mau pergi sekarang !

Bram : baik.(memulai menyertika)

(tiba-tiba terdengar suara nyonya ratih memanggil bram, saat bram kembali, ia terkejut melihat pakaian tadi hangus terbakar)

Bram : astaga.

Teta : mama! Lihat apa yang dikerjakan pembantu ini. Dia merusak pakaian kesayanganku!kamu harus menggantinya!

Ratih : lihat apa yang kau kerjakan ! sekarang kau bisa apa? Percuma tadi saya mengingatkan kamu supaya berkerja dengan baik. Kamu sanggup mengganti pakaian itu ? minggu ini kamua tak kan menerima gaji sepeserpu dari saya! Sekarang pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali !

Teta : Pergi !!!!!!

Bram : (berlari2 kecil menuju pintu keluar)

Itulah salah satu contoh dari sekian banyak orang yang ada di sekeliling ku dan pastinya tidak menerima keberadaan ku. Merka hanya bisa memrintah dan menghakimi ku sesuka mereka. aku mulai merasakan amarah. Mereka mengardik-hardik ku dan mengambil hak ku begitu saja. tapi, apakah aku pantas untuk marah ? aku orang miskin. Bahkan aku tak dianggap manusia oleh mereka. untuk saat ini, biarlah ku pendam amarahku.

Scene 4.

Pagi it, aku sedang melakukan tugas rutinku. Membersihkan sebuah taman di pinggiran kota. Taman seluas satu lapangan bola kaki itu ku bersihkan seorang diri. Bayangkan betapa banyak tenaga yang ku butuhkan. Sementara, untuk mengganjal perut yang lapar pun terkadang aku tak bisa.

Dan pagi itu…

Retno : (menelpon) Teta, kau sudah sampai di taman. Kamu dimana ? ok, di tunggu ya…

(Bram lewat di depan retno dan kelihatan sangat haus dan lapar)

Retno : Bram, kamu kok kelihatannya keletihan gitu ?

Bram : aku ga apa-apa retno.(berjalan menjauh)

Retno : tunggu, tunggu Bram. Kamu pasti belum makan pagi kan ? ga usah bohong, ayo ikut aku. Kita sarapan dulu.

Bram : (berpikir-pikir dan bingung. Mengikuti retno)

(teta sampai di taman dan mencari-cari retno)

Teta : (menelpon) halo. Retno, kamu dimana ? tadi katanya udah sampai di taman ? hhmm.. ya udah, aku tunggu di tempat biasa ya. Buruan. Soalnya semua mesti siap hari ini.

(retno datang dan Bram disampingnya)

Bram : makasih ya retno(buru-buru pergi karena melihat teta)

Retno : iya bram, sama-sama.

Teta : (kebingungan) ha ? makasih buat apa ?

Retno : udah, lupain. Yang lain mana ?

Teta : (menggaruk-garuk kepala dan kebingungan melihat retno) katanya sih masih di jalan. Mulai aja yuk.

Retno : yuk.

Aku bingung. Padahal dunia yang ku kenal tak pernah seperti ini.ternyata ada ada satu orang yang merelakan senyumannya untuk beberapa detik kepadaku. Tapi, aku tetap saja bingung. Jika memang dia bukan bagian dari dunia yang ku kenal, mengapa dia hanya diam saat semua teman-temannya mencaci-maki ku ? memang, kata orang diam itu emas. Tapi, jika begitulah adanya, maka emas pun tak ada harganya bagiku yang bahkan tak punya apa-apa. Dan juga, mengapa baru sekarang? Disaat yang sudah terlambat untuk mengubah persepsiku terhada dunia?

Aku kenal mereka semenjak pindah ke kota ini 14 tahun silam saat aku masih berusia 5 tahun. Retno, Teta, Kiki yang memanggilku dengan sebutan “gembel”, dan reza saudara sepupu Kiki. Saat aku masih berumur 5 tahun dan begitu pun mereka, mereka sudah bisa membuat karakterku cacat. Dengan perlakuan mereka terhadapku. Tepatnya, semua perlakuan mereka terhadapku. Menyisihkan ku seakan aku ini bukan jenis dari mereka. kemana bram kecil bisa mengadu saat itu ? ia tak punya orang tua, sobat. Sebenarnya, saat masih berusia 5 tahun hatiku sudah di nodai dendam. Betapa tidak, semua yang ada disekitarku selalu memperlakukan ku bak binatang. Disuruh-suruh sesuka mereka, jika tak bisa, tak ada alas an, dan aku disakiti. Satu hal yang bisa ku perbuat. Terima.

Scene 5.

Sore itu….

(bram berdiri di depan pintu rumah kiki&reza)

Bram : assalamualaikum

Kiki : (membuka pintu) walaiku…. Eh.. ngapain kau kesini ? mau minta-minta? Itu? Apaan ?

Bram : ibunya kiki titip buat reza. Saya tak tahu apa isinya.

Kiki : (mengambil uang dari titipan itu)hihi, lumayan. (kemudian berteriak) reza ! ada titipan. Di atas meja.

Reza : (datang dan memeriksa titipan) mana 200 rb lagi ? (melihat kea rah kiki)

Kiki : (merasa dituduh) enak aja ! Tanya tuh gembel. Dia yang antar.

Reza : gembel ? bram ?

Kiki : iya siapa lagi ? buruan kejar. Paling dia baru di depan pagar.

(reza mencegat bram)

Reza : oi maling, mana uang titipan yang kamu curi barusan ?

Bram` : uang apa ?

Reza : (menggeledah bram) dimana kamu simpan uang yang kamu curi itu ?

Bram : (kebingungan dan hanya tertunduk) sa.. saya..

Reza : dasar gembel maling ! (memukuli bram)

(tiba-tiba ibuya kiki atau ibu ami lewat)

Ibu ami : Reza ! berhenti ! apa-apaan kamu ini ?

Reza : dia nyuri titipan dari tante tadi dan ga mau ngaku

Ibu ami : benar itu bram ?

Bram : (kesakitan) tidak bu, saya tidak mencuri

Reza : alah, mana ada maling ma ngaku ! balikin uang yang tadi !

Bram : demi allah saya tidak mencuri.

Ibu ami : kamu dengar itu reza ? bukan dia pelakunya! Dan kamu tidak punya bukti

Reza : kenapa tante malah membela dia?

Ibu ami : (memotong)karena kau salah ! sekarang tante tidak mau tau, kamu harus pergi ke apotik dan beli obat buat bram. Tante akan tunggu di rumah dengan bram

(ibu ami membawa bram ke rumahnya)

(sesampainya di rumah)

Ibu ami : bram, ibu minta maaf ya atas tindakan keponakan ibu tadi. Dia emang orangnya gitu. Ibu juga minta maaf, gara-gara ibu, kamu jadi babak belur begini. Maaf ya bram.

Bram : iya bu. Saya juga minta maaf, gara-gara saya ibu jadi marah-marah ke keponakan ibu.

Ibu ami : sudah sudah. Sekarang sakitnya kerasa dimana bram ?

Bram : di pundak saya ini bu (sembari menunjuk pundaknya)

Ibu ami : ya udah, kamu tunggu disini. Ibu ambil air hangat dan handuk dulu.

Bram : (mengangguk)

Ibu ami : (membawa air dan handuk)

(ia melihat ada tanda lahir yang ia ingat di bahu bram)

Bram, apakah ini tanda lahirmu ??

Bram : benar bu

Ibu ami : boleh ibu liat telapak tangan kamu ?

Bram : (kebingungan kemudian memperlihatkan satu tada lahir lagi di telapak tangannya)

Ibu ami : subhanallah. Bram ! kamu bram anaknya mbak rita!

Bram : maksud ibu ?

Ibu ami : tanda lahir di pundak dan telapak tangan mu itu. Ibu hafal betul tanda lahir itu. Kamu anak alm. Mbak rita.

Bram : bu, ada apa ini ? tolong jelaskan. Tanda lahir apa ? dan siapa mbak rita ?

Ibu ami : ibu tahu tanda lahir itu karena ibu juga sumpat merawatmu bebrapa bulan sebelum kau diambil oleh pihak desamu kembali. Dan Mbak rita itu adalah ibu kandungmu, nak.

Bram : (tertegun)

Ibu ami : ibu bisa mengerti bagaimana peraasaanmu saat ini. Sekarang, duduklah. Biar ibu ceritakan padamu semuanya.

Ibu Ami : dulu, ibu, bu ratih, dan mbak rita ibumu berteman erat. Kami sudah sring bersama sejak masih duduk di bangku SMA. Hingga saat kami memiliki keluarga masing-masing pun hubungan kami tetap erat. Kami selalu bercerita satu sama lain tentang berbagai hal. Dan ibumu, walaupun dialah yang paling muda diantara kami, namun ia memiliki kebijaksanaan dan kedewasaan lebih daripada ibu dan bu ratih. ia selalu memberikan dorongan kepada kami jika kami sedang menghadapi masalah. Dan setiap perkataannya selalu membuat beban kami seakan hilang. Ia juga sangat penyayag. Ia begitu sayang padamu. Ia selalu menanyai keadaanmu saat ibumu menitipkanmu kepada ibu. Hamper setiap saat ia menanyai keadaan mu. Dan juga ayahmu. Beliau sosok seorang pemimpin yang baik. Seorang kepala rumah tangga yang bertanggung jawab dan juga seorang ayah yang begitu sayang kepada anak laki-laki semata wayangnya. Tapi, ibumu kurang beruntung. Saat dulu di kota mewabah penyakit pada balita, anak ibu, kiki, dan anak bu ratih, teta terkena penyakit itu. Dan ibumu di desa mendapat kabar tentang itu. Ia menjenguk anak-anak kami di kota dan membawamu juga saat kau berumur kira-kira 1 tahun. Tapi, saat mereka akan kembali ke kota, ibu meminta kepada mbak rita untuk membiarkanmu tinggal bersama ibu di kota untuk beberapa hari. ntah itu firasat atau apa, ibu dan ayahmu mengalami kecelakaan di perjalanan pulang ke desa. Mereka meninggal di tempat. Dan tak lama seteah itu, seseorang dari desamu menjemputmu dari ibu untuk dibawa kembai ke dsa.

(suasana menjai sangat hening)

Bram : (tertunduk dan menititkkan air mata)

Ibu ami : lupakan kesedihanmu bram. Tapi kenanglah selalu itu dan ayahmu.

Bram : terimakasih bu (segera pergi)

Ibu ami : bram ! tunggu, lukamu belum diobati.

Tak mudah menerima kenyataan suatu kenyataan yang amat teramat berat dalam bebrapa menit saja. apalagi bagiku, seseorang dengan beban mental yang tak stabil sama sekali. Ternyata, orang tua ku meninggal karena niat baiknya untuk melihat orang-orang yang jatuh sakit dan kini orang-orang itulah yang selalu memperlakukanku tak seperti manusia. Betapa ironi itu membuat dendamku terpicu.

Scene 6.

(bram berdiam di suatu tempat, memikirkan realita yang begitu pahit ini)

“kenapa harus aku yang berada di posisi ini ??? mengapa bukan orang lain ?? ternyata aku lahir dari keluarga yang bisa memberikanku kebahagiaan. Tapi, mengapaaku tak sempat merasakannya ?? mengapa kebahagiaan itu tak sempat hadir ?? setiap hari yang kulalui hanya untuk merasakan semua yang tak pernah ku bayangkan. Hanya untuk mendengan apa yang tak ingin ku dengar. Mengapa aku selalu dijadikan sasaran atas kesalahan yang diperbuat dunia ini ? apa karena aku lemah ? tidak.. tidak.. aku tidak lemah !! aku manusia !! aku samaseperti mereka !! jika aku tak bisa untuk pergi dari mereka, maka kini akan ku buat mereka pergi dariku!!!!!!

Scene 7

(bram menuju rumahnya)

Nenek : Darimana saja kau?? Mengapa kau pulang terlalu sore ?? apa akau tak sadar masih banyak yang harus kau kerjakan di rumah ini ??

Bram : sudahlah ! aku muak dengan semua ini. Rasanya sudah cukup aku dididik selama 18 tahun oleh orang yang samasekali membenciku ! orang yang sama sekali tak iklas membesarkanku.

Nenek : (menampar) Kurang ajar !! dasar anak tak tau balas budi !! kau….

Bram : (memotong) Apa kau tahu bagaimana rasanya dibesarkan oleh orang seperti kau ?? aku tersiksa !!!! kau hanya membunuhku pelan-pelan !! hanya memberiku hidup dengan teriakan-teriakanmu yang membangunkan semua orang !!! aku sudah tau semuanya. Kau bukan nenek ku. Kau bukan ibu dari orangtua ku. Dan semua biaya untuk menghidupiku kau dapatkan dari harta warisan orang tua kandungku. Dan kemudian berpura-pura miskin untuk menutupinya. Hanya hartaku yang kau harapkan !! kau munafik !!

Nenek : baik. Entah darimana kau tahu akan itu, tapi semuanya benar. Semua hartamu ada padaku. Tapi, apa yang bisa kau lakukan ??

Bram : membunuhmu !!!

Nenek : kau pecundang dan dan tak kan sanggup !!!

Bram : (berbisik ke telinga nenek dan menusukkan pisau ke perut nenek) terserah..

Saat itu aku tak lagi bisa mengendalikan diriku.yang ku pikirkan Hanya membunhuh orang-orang yang selama 18 tahun membuat ku seperti binatang. Benar-benar seperti binatang. Aku tak menyesal sedikitpun. Bahkan, aku menikmatia apa yang telah aku lakukan ini. Rasanya, aku baru saja menyeleseaikan sebuah perintah tuhan. hanya saja, perintah itu belum sepenuhnya terpenuhi. Sekarang giliran mereka.

Scene 8

(bram bergegas menuju rumah teta dengan niat yang bulat untuk membunuh)

Bram : (mengetuk pintu) Teta !! teta !!!

Teta : iya !! sebentar !!!

Bram : (seketika menusuk teta)

Teta : (mati)

Satu lagi bagian dunia yang ku kenal musnah di tanganku. Sekarang, berkuranglah orang-orang yang akan memperlakukanku dengan kejam. Tapi, masih ada yang gilirannya yang belum datang. Dan aku yang akan mendatangkannya. Karena aku tak lagi seseorang yang lemah. Aku kuat. Jauh lebih kuat dari dunia.

Scene 9.

(Reza dan kiki berjalan menuju rumah)

(mendadak dari belakang kiki yang sedang memperbaiki tali sepatu, datang bram dengan pisau penuh darahnya, tapi reza melihat itu)

(ACTION MENYESUAIKAN)

(saat reza terbunuh, kiki tersudut.. perlahan, bram mengarahkan pisau itu kea rah kiki dengan tatapan amarah dan penuh kebencian..)

(retno datang tiba-tiba, menahan tangan bram yang memegang pisau berlumuran darah)

Retno : Cukup, bram.

Bram : kau tak tau retno !! mereka terlalu kejam padaku !!(masih dalam keadaan marah)

Retno : aku tau, bram. Tapi semua ini tak akan menyelesaikan masalahmu. Masih ada cara lain yang lebih baik daripada ini.

Bram : tidak !! tidak ada jalan lain !! kau tau ? aku pernah gagal untuk pergi dari mereka, dari kekejaman mereka. sekarang, aku tak mau gagal lagi, sekarang, ku buat mereka yang pergi dariku !!

Retno : kendalikan dirimu, bram.

Bram : Retno, kau bukan mereka. aku bisa merasakan itu. Sejak kecil, aku merasa kalian kucilkan. Hanya karena aku miskin dan tak punya orang tua. Tapi kalian ?? kaya dan punya keluarga yang lengkap. Bisa bersenang-senang setiap hari, membeli apapun yang kalian inginkan. Dan kalian tahu bagaimana aku menderita. Tapi, peduli apa kalian ?? hanya menertawaiku setiap saat, menghinaku, mencercaku, menyakitiku ? hanya itu kah tujuan hidup kalian ? ? kau tahu retno, setelah aku sebesar ini, aku baru tahu penyebab orang tua ku meninggalkan dunia. Orang tua ku meninggal dunia saat aku berusia 1 tahun ketika itu, orang tuaku, orang tua dia (kiki) dan orang tua teta berteman erat. Saat kiki dan teta sakit, orang tua ku menyempatkan diri dari desa ke kota untuk menjenguknya. Tapi, mereka mengalami kecelakaan dan tewas seketika. dank au lihat apa yang dilakukan oleh dia dan teman-temannya kepadaku ?? anak dari sepasang suami istri yang dulu sempat menjenguknya hingga mengorbankan nyawa mereka ???

Retno : Bram..

Bram : aku gagal lagi. Aku gagal untuk membuat mereka pergi dariku. Kau menggagalkannya retno. Tapi, Terimakasih retno. Hanya darimu aku dapat merasakan mendapat senyuman. kini, ku akan sudahi semua ini.(menusukkan pisau ke perutnya sendiri)

Retno : (Tertunduk) bram……..

Itulah kisahku. Pecundang seumur hidup. Hidup memang selalu diwarnai kebencian. Dan kebencian selalu berakhir pada dendam. Kini penderitaan ku usai. Tak kan ada lagi yang membuang sampah kea rah ku di saat aku menyapu, tak ka nada lagi yang menghinaku, mencaci maki ku, dan tak ka nada lagi yang memperlakukan ku tak seperti manusia. Tapi tetap, hanya kebencian yang ku punya untuk dunia. Namaku Bram.