Di zaman yang serba kekurangan, di kala Semarang jadi rebutan para penjajah, penduduk sudah tidak bebas lagi berbuat sekehendak hati. Mereka hidup dalam kekangan. Dalam Langit dan Bumi Sahabat Kami ini, Dini mengisahkan kembali peristiwa-peristiwa yang dialaminya pada masa itu : kekurangan makanan, musim yang kering, keadaan yang memprihatikan, dan lain-lain. Semua itu dihadapi keluarga Dini dengan tabah dan tawakal. Seperti kata Ibu Dini, "Sabar dan dermawanlah seperti bumi. Dia kauinjak, kauludahi. Namun tak hentinya memberimu makanan dan minuman."

Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Diantaranya La Barka ( 1975), Namaku Hiroko ( 1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileris ( 1982), Segi dan Garis (1983), dan Orang – orang Tran (1985). Terjemahannya: Sampar ( Karya Albert Camus, La Peste, 1985). Dan novel “Langit dan BumiSahabat Kami” ini merupakan novel ke-9 nya. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh” namun terkadang novelnya tersebut seperti menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.

Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.

Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional. Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.

Sejarah singkat perjalanan hidupnya ia lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Setelah tamat SMA bagian sastra ( 1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta ( 1956), dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah ( 1957). Tahun 1957-1960 bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan Yves Coffin, berturut – turut Ia bermukim di Jepang, Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan Semarang. Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya.

Novel “Langit dan Bumi Sahabat Kami” ini secara dasarnya sama saja dengan novel-novel karya Nh. Dini lainnya. Ia bercerita tentang pengalaman hidup seorang anak perempuan di zaman penjajahan. Ia menyampaikannya dengan bahasa yang komunikatif. Hingga tidak sulit bagi kita untuk memahami isi dari novelnya ini. Selain itu novel ini juga tidak hanya mengandung sebuah pesan tersurat, tapi juga menyimpan berbagai pesan yang tersirat. Sehingga tidak ada ruginya kita membaca novel ini.

Namun, dalam hal lain seperti soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya.

Comments (0)