Sambil menunggu pesanan makan siang, aku masih tetap memikirkan yang baru saja terjadi. Disini aku melihat seorang nenek yang segar bugar melayani kami berbelanja. Mencari nafkah sendiri di sebuah warung yang hanya sebesar 4x3 meter. Dipenuhi berbagai jenis makanan ringan dan bangku-bangku panjang serta meja panjang yang sepertinya sering digunakan masyarakat muda sekitar daerah tersebut untuk bermain domino. Hal itu terlihat dari adanya bagian yang tak sedikit terkena tumbukan berkali-kali.

Tadi pagi aku sampai ke tempat ini untuk memenuhi mengikuti Perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. sekaligus untuk mengingatkan kami agar selalu menghormati orang tua. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) atau yang lebih dikenal dengan nama Panji Jompo menjadi tujuan kami. Seluruh guru, karyawan, serta siswa di sekolahku datang berkunjung kesini.

Kami semua dikumpulkan di sebuah aula. Tidak cukup besar untuk menampung kami yang hadir lebih dari 250orang ditambah dengan warga PSTW. Dimataku, bangunan aula ini tidak berubah sekitar 10tahun terakhir ini. Yang berubah mungkin hanya cat yang terlihat dari warna oren bercampur coklat dari langit-langit di panggung. Serta warna putih dari dinding-dinding aula. Semua gambar yang tergantung di dinding aula sudah terlihat memiliki usia lebih dari 10tahun. Warna yang seharusnya putih menjadi kuning kecoklatan pada gambar-gambar tersebut. Banyak gambar yang terpajang mengenai kegiatan kakek nenek disini, apa yang mereka butuhkan, bagaimana psikologi mereka hingga dokumentasi lama yang fotonya juga sudah menguning. Lantai ruangan yang kekurangan tikar untuk alas duduk juga membuktikan kalau ruangan ini jarang digunakan.

Kami semua duduk berhimpit-himpit, sangat sedikit ruang yang ada antara aku dan teman disampingku. Walau begitu kami tetap mengikuti rangkaian acara ini dengan sepenuh hati. Memang aku akui kalau tidak semua hal yang disampaikan pada kata sambutan aku dengarkan. Tapi ada hal benar-benar ku ingat. Cerita dari Bapak Rauf Kepala PSTW. Kisah cinta antara Rio dan mantan kekasihnya Viny. Viny yang baru saja pindah lagi ke kampungnya di Sawahlunto mendengar kabar bahwa mantan kekasihnya, Rio berada di PSTW. Dengan segera. Viny menghubungi Bapak Rauf untuk menanyai kebenaran berita tersebut. Tapi ternyata, tak ada yang bernama Rio dari Padang Ganting yang tinggal di PSTW, dan yang ada hanyalah Pak Kumro, orang tua Rio. Pak Rauf hanya bisa memberikan nomor hp Rio yang dimiliki Pak Kumro pada Viny. Tak lama setelah Viny menghubungi Rio, Rio pulang kampung dari Madura untuk menemui sang mantan, Viny. Rio kini telah sukses, memiliki mobil pribadi yang mewah, rumah makan yang sudah berkembang di Madura dan Jawa Timur. Rio tidak lama berada di Padang Ganting. Karena setelah bertemu Viny ia akan segera kembali tanpa melihat atau bahkan mengunjungi Pak Kumro agak sebentar. Akhirnya Pak Rauf menyuruh Pak Kumro untuk menemui anaknya di kampung. Tapi apa yang didapatkan oleh Pak Kumro? Hanya uang sebesar Rp 100.000,00, Rio tidak mengajak ayahnya untuk tinggal bersamanya, bahkan menanyai apa yang sedang dibutuhkan oleh ayahnya saja tak ada. Benar-benar membuatku miris. Inikah bentuk malin kundang yang baru? Aku tak bisa menjawabnya.

Itu hanya segelintir kisah yang mungkin aku ketahui. Tapi Panti ini tidak hanya berisikan kisah-kisah sedih, kisah cinta juga terjadi disini. Ada juga kakek nenek yang berpacaran, berebut pacar, hingga ada kakek nenek yang dinikahkan oleh pihak panti. Secara sah tentunya.

Setelah mendengarkan 3 kata sambutan, kami masuk ke acara inti, ceramah agama. Ceramah yang disampaikan ustad kali ini tidak hanya menceritakan kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. ke dunia ini. Tapi ustad ini juga memberikan materi mengenai sikap menghormati orang tua. Ustad menyampaikan berbagai kisah. Dan ustad juga mengatakan kalau sebenarnya orang tua yang telah berusia senja itu kembali kemasa mereka masih batita (bawah tiga tahun). Mereka perlu kasih sayang yang melimpah, mereka membutuhkan perhatian lebih. Terkadang, memang sebagian orang tua atau kakek nenek kita butuh perhatian yang lebih banyak lagi, karena mereka tak bisa mengurusi dirinya sendiri lagi. Tapi sungguh, bagi seorang anak saat itulah seharusnya mereka tunggu untuk membalas kembali kasih sayang yang telah mereka berikan saat kita masih kecil.

Tak lama kami mendengarkan ceramah, seluruh siswa dibagi perkelompok untuk mewawancarai kakek-nenek yang berada disini. Aku dan teman-teman sekelasku mendapat Wisma Anggur untuk kami bawa wawancara, atau lebih pas bercengkrama dan makan siang bersama. Wisma Anggur yang terdiri atas 4 kamar kakek-kakek dengan luas masing-masing sekitar 2-3 meter persegi, dua buah kamar mandi, ruang makan dan ruang unutk nonton tv yang digabungkan menjadi satu, serta satu kamar unutk petugas, istri dan seorang anaknya.

Wisma Anggur dihuni oleh 8 orang kakek-kakek yang memiliki umur berbeda, asal berbeda, sikap yang pasti berbeda, serta lama berada di PSTW juga sangat beragam. Penghuni Wisma Anggur yang pertama adalah Kakek Ramli. Beliau berasal dari Koto Tuo Simabua, berumur 81 tahun. Beliau sudah 1,5 tahun berada di Panti Sosial ini. Saatku tanya, ”Sia yang ma antaan kek kamari dulu?” beliau menjawab ”Anak!”. Apa yang aku tanya, hanya itu yang dijawab kakek. Kakek ini sepertinya tidak banyak bicara. Terkesan seperti kakek cool. Tapi aku tahu, kalau beliau kesini karena anaknya yang tidak mampu merawatnya faktor ekonomi. Anaknya hanya seorang petani yang bersawah kecil di kampung. Dan yang membuat kakek tetap bahagia, anaknya selalu datang mengunjunginya sekali dalam sebulan membawa cucunya. Itu yang bisa membuat beliau tersenyum saat bercerita.

Penghuni kedua adalah Kakek Ahsan. Beliau berasal dari Batipuah Ateh. Umurnya 85 tahun, dan telah 1 tahun berada di PSTW. Kakek yang terlihat sangat pendiam ini dahulunya berladang di kampung. Memiliki 5 orang anak. Tapi tak seorangpun yang berada di kampung. Karena beliau menolak untuk meninggalkan kampung halaman, beliau di bawa ke Panti. Dan disinilah ia sekarang menghabiskan sisa hidupnya tanpa kasih sayang anka-anaknya.

Penghuni ketiga adalah Kakek Jazin dari Koto Baru Simabua. Menurut teman-temannya, beliau yang paling tua disini. Tapi setelah ditanya berapa usianya, kakek ini menjawab bahwa usianya 82 tahun 3tahun lebih muda dari Kakek Ahsan. Kakek ini memiliki kesulitan dalam mendengar. Tapi beliau tetap berusaha mendengarkan pertanyaan-pertanyaanku. Aku di beritahu anak 8 orang, dan salah satunya bekerja di bagian dapur PSTW. Kakek diantarkan anak-anaknya kesini lantaran anaknya tidak sanggup membiayai orang tuanya. Kakek Jazin menceritakan semua kisah hidupnya kepadaku. Beliau sangat mahir berbahasa Jepang, dan tak malu-malu, beliau mencoba berbahasa Jepang walau hanya menyebutkan Angka yang ditanya. Saya rasa, dahulu memang bisa berbahasa Jepang, namun kini mungkin bahasa itu telah jarang digunakannya.Ia dahulu juga ikut berperang melawan Jepang, Beliau beserta teman-temannya dahulu melawan jepang dengan menjatuhkan batu untuk menghambat perjalanan tentara Jepang dan berusaha menghancurkan Jepang dengan peralatan yang seadanya. Tapi itu tak lama beliau lakoni. Karena setelah cukup umur, Kakek pergi berdagang dari Sumatera Barat hingga Riau. Dan di Riaulah Kakek bertemu istrinya. Kakek yang berprofesi sebagai penjual es cendol bertemu dengan istrinya yang saat itu bekerja di toko kain. Mereka menikah, dan mencoba menjual kain di Padang. Tapi karena usahanya tak berjalan lancar, beliau terpaksa pulang kampung dan menghabiskan waktu selama 13 tahun di PSTW beberapa setelah tahun istrinya meningal.

Penghuni keempat adalah Kakek Almanar dari Sungai Jambu Kec. Pariangan. Beliau berumur 82 tahun dan sudah 8 bulan berada di PSTW. Seumur hidupnya, beliau hanya menikah sekali, namun sayang, Allah belum mengaruniainya seorang anakpun hingga istrinya menghembuskan nafas terakhir. Kakek dahulu berdagang dari pasar ke pasar bersama almarhummah istrinya. Saat ditanya mengapa bisa sampai disini, dengan santai beliau menjawab ”Ndak ado yang ma urus”. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman tipis.

Penghuni kelima adalah Kakek Munir. Beliau berasal dari Balai Gamba, Batipuah Ateh. Kakek ini berusia 73 tahun, dan telah 2 bulan berada di PSTW ini. Dahulu beliau bekerja sebagai petani. Beliau pernah menikah, namun bernasib sama seperti Kakek Almanar, beliau tidak dikaruniai seorang anakpun.

Penghuni kelima adalah Kakek Umar. Beliau dari daerah Ombilin. Berusia 77 tahun dan sudah 4 bulan berada di PSTW. Kakek ini sangat jarang berbicara, bisa dibilang pendiam seperti Kakek Ahsan. Hingga selama kami berada di Wisma Anggur, beliau hanya terdiam duduk di tempatnya sambil melihat apa yang sedang terjadi di Wismanya.

Penghuni keenam adalah Kakek Ujang. Beliau berasal dari Pangian, Lintau yang sudah berusia 71 tahun. Beliau sudah 4 tahun berada di PSTW ini. Beliau berkata kalau dia berada disini karena diantarkan oleh Wali Nagari disana. Kakek Ujang, seumur hidupnya tidak menikah, beliau selalu membujang seperti namanya. Hidupnya sendiri di kampung, ia bertani untuk membiayai kehidupannya. Kakek ini terlihat begitu kesepian dan membutuhkan perhatian dimataku. Karena setiap ada kesempatan, Kakek selalu berusaha mengambil perhatian kami dengan menjelek-jelekkan teman-temannya dari belakang. Kadang dia berkata kalau temannya tersebut gila, namun lebih sering Kakek berkata ”Ntah iyo ntah indak tu! Jan pacayo lo lai. Nyo panduto.”. Kakek ini benar-benat selalu seperti inikah kesehariannya? Jika iya, bagaimana hubungannya dengan teman-temannya?

Penghuni ketujuh adalah Kakek Udin dari Batua, Sungai Tarab. Usianya 78 tahun dan sudah 8 bulan berada di Panti. Kakek ini datang sendiri kesini. Aku tak tahu alasannya, karena aku menyerah berbicara dengan beliau. Pendengarannya sangat terganggu. Yang bisa aku tangkap hanyalah wajahnya yang bahagia menyambut kedatangan kami.

Penghuni terakhir, yang kedelapan adalah Kakek Hadi dari Bukittingi. Usianya 74 tahun dan baru 3 hari berada di Panti ini. Dahulu Kakek adalah seorang Dosen di Universitas Lampung jurusan Biologi, lalu Kakek masuk ke ranah politik dan terpilih menjadi Ketua DPRD di salah satu daerah di Lampung. Kakek dahulunya kukira adalah orang yang hebat, karena itu terbukti hingga kini yang bisa menjawab semua pertanyaan kami walau pertanyaan itu agak kekinian. Benar-benar bukan orang sembarangan. Tapi entah kenapa, dari 3 orang anaknya, tidak ada satupun yang mau merawatnya. Semua saling bahu membahu menolak untuk merawat Kakek. Padahal, sekaya apapun mereka kini, sehebat apapun mereka kini, itu semua berkat Kakek yang membesarkan mereka. Akhirnya Kakek datang ke PSTW setelah diantarkan oleh mantan mahasiswanya saat di Unila. Sangat bercerita bersama Kakek, senyum terkembang dari bibirnya tiada henti. Sangat berbeda ketika ia masih mengurung diri di kamar untuk beberapa saat. Beliau bercerita tentang berbagai hal yang ingin kami ketahui, beliau measehati kami untuk tidak berpacaran saat masih bersekolah, dan jika telah tamat nanti ingin berpacaran kami harus berpacaran yang sehat. Dan yang membuat aku tertawa adalah ketika aku bertanya kepada kakek yang dahulunya seorang Dosen, ”Kakek bisa bahasa Inggris?” kakek menjawab, ”I dsureineprnxapdj” sebuah kalimat tak jelas tanpa arti apapun. Lalu kakek berkata lagi, ”Bahasa Inggris itu menipu! Yang tertulis apa, yang dibaca juga apa, berbeda”. Spontan, kami langsung tertawa bersama Kakek.

Aku tidak hanya bertanya dan mengobrol dengan Kakek-kakek, tapi aku juga mengobrol dengan Kak Tina, istri petugas di Wisma Anggur. Kak Tina berkata kalau mengurusi Kakek-kakek ini tidaklah sulit, karena mereka telah tahu apa yang harus mereka lakukan setiap harinya. Mereka mencuci pakaian sendiri, karena telah disediakn mesin cuci dan mereka telah diajari cara menggunakannya. Makan mereka juga telah ada yang menyediakannya. Mereka jika tak ada kegiatan bisa menonton atau melakukan hal lainnya. Mereka tidak terkekang oleh berbagai peraturan. Yang susah hanyalah ketika mereka bertengkar hanya karena hal-hal kecil, seperti lupa menyiram lobang WC setelah BAB. Atau kakek yang memang rata-rata sudah pikun lupa mencuci pakaiannya dengan deterjen. Serta Kakek yang kadang berbuat hal aneh-aneh saat merindukan anaknya. Itu yang dikatakan Kak Tina, melihat keramahan Kak Tina, aku juga menjadi yakin kalau ini juga menjadi salah satu alasan Kakek-kakek kerasan berada disini. Selain mereka tak perlu memikirkan hal mendasar lagi, mereka juga di temani oleh penjaga yang mengganggap mereka seperti orang tua sendiri.

Mereka yang sepertinya selalu terlihat sedih karena tak ada yang begitu memperhatikan mereka dan menyayangi mereka seperti mereka dahulu menyayangi anak mereka. Aku lihat foto-foto kunjungan mahasiswa Akper yang tertempel di dinding, Kakek-kakek terlihat bahagia. Saat aku bersama Kakek-kakek dan teman-teman berfoto aku melihat Kakek, mereka penuh dengan semangat dan senyum bahagianya. Saat makan bersama juga terlihat mereka makan dengan lahap, walau sebenarnya itu belum jam makan mereka. Kunjunganku kesini bersama teman-teman dan guru-guru membuat mereka bahagia. Itu yang dapat ku tangkap. Mereka butuh hangatnya kekeluargaan.

Setelah semua usai, aku dan beberapa orang teman, menuju warung Nenek yang berada di sebelah PSTW. Dahulu saat aku masih di bangku SMP, aku sangat sering kesini untuk makan siang. Begitu juga kali ini, namun ada yang berbeda, dahulu Nenek masih tinggal bersama anak perempuannya, tapi kali ini anaknya tersebut tak terlihat lagi. Aku bertanya-tanya sendiri. Apa Nenek juga ditinggalkan oleh anaknya dan akan dibuat seperti penghuni Wisma Anggur yang kesepian tanpa kasih sayang anak-anaknya? Jawabanku langsung terjawab saat aku tengah makan, anak Nenek itu datang dengan membawa seorang bayi Nenek langsung menyambut kedatangan mereka dengan bahagia dan segera menggendong cucu yang telah mengambil hati Nenek.
Tersenyumlah saat kau mengingatku
Karena saat itu aku sangat merindukanmu
Dan menangislah saat kau merindukanku
Karena saat itu aku tak berada disampingmu
Tetapi pejamkanlah mata indahmu itu
Karena saat itu aku akan terasa ada di dekatmu
Karena aku telah berada dihatimu
Untuk selamanya
Tak ada yang tersisa lagi untukku
Selain
Kenangan-kenangan yang indah bersamamu
Mata indah yang dengannya
Aku biasa melihat keindahannya cinta
Mata indah yang dahulu adalah milikku
Kini semuanya terus jauh meninggalkanku
Kehidupan terus kosong tanpa keindahanmu
Hati cinta dan rinduku adalah milikmu
Cintamu takkan pernah membebaskanku

Bagaimana mungkin aku terbang mencari cinta yang lain
Saat sayap-sayapku patah karenamu
Cintamu akan tetap tinggal bersamaku
Hingga akhir hayatku dan setelah kematian
Hingga tangan Tuhan menyatukan kita lagi
Betapapun hati telah terpikat pada sosok terang dalam gelap
Yang tengah menghidupkan sinar hidupku
Namun tak dapat menyinari dan menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya
Aku tidak pernah bisa menemukan cinta lain
Selain cintamu
Karena mereka tak tertandingi sosok dirimu dalam jiwaku
Kau takkan pernah terganti
Bagai pecahan logam yang mengekal
Kesunyian, kesendirian dan kesedihanku

Kini aku telah kehilanganmu